100 cm

Assalamualaikum...😊

Udah lama banget ni gak update..
kemaren sibuk banget akan sesuatu hal..
sesuatu hal untuk dibagi di sini..

😋😋😋😋😋😋😋😋😋😋😋😋😋😋

untuk postingan pertama dan perdana (karna postingan sebelumnya aku delete) langsung aku kasih dua cerpen deh.

cerpen yang udah aku lombain..

😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊

oke, langsung aja kali ya...


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

tema : Guruku  Pahlawanku
oleh  : Rida Fadila





100 cm

Aku terkenang saat-saat dulu ketika aku masih mengenakan seragam yang paling membuatku merasa bangga mengenakannya, yang membuat identitasku sebagai warga negara Indonesia terpampang nyata pada dunia. Merah dan Putih. Aku tak kuasa membiarkan tawaku lepas saat aku teringat akan masa itu, di mana pikiran membawaku pada enam belas tahun silam. Saat namaku selalu menjadi fenomenal oleh Bu Ita. Aku yang selalu terpanggil karena ketenaranku di sekolah.

“Uliii!” Teriakan yang entah kali ke berapa terdengar seantero sekolah. Aku yang tengah menikmati nikmatnya kerupuk kuah Bu Gus terperanjat bukan main dibuatnya. Bu Gus yang tadinya menertawakanku tiba-tiba memasang muka aneh. Semacam raut wajah penuh angkara murka.

“Ma.. Maaf, Bu Gus, nanti Uli balik.” ucapku spontan beranjak dari tempat dudukku. Aku tak sengaja menerbangkan kerupuk bertabur bihun yang tak kusangka akan mendarat di kepala Bu Gus. Aku berlari sekencang-kencangnya. Yang ada di pikiranku kala itu, aku tak boleh tertangkap setelah beberapa kali aku berhasil lolos dari cengkeraman ibu guru sadis ini.

Aku memang sangat tenar karena kelakuan yang tak biasa itu. Entah kenapa? Aku sangat malas sekali duduk di kelas. Aku tak seperti siswi lainnya, yang sangat rajin dan memiliki kepintaran paripurna. Aku muak menghapal perkalian, aku benci mengeja huruf-huruf itu. B-a ba, b-u bu; babu. Apaan tu? Karena itulah aku tetap menjadi siswi stupid yang sudah dua tahun di sekolah dasar masih juga belum bisa baca tulis, belum bisa matematika dasar, dasar banget malahan.

Begitulah, Bu Sandra, rasanya saya hampir menyerah dengan kelakuan Uli ini. Berkali-kali tak pernah mau masuk kelas. Anak perempuan kok begini kelakuannya,” ujar Bu Ita pada ibuku saat…, ya, untuk kesekian kali ibu harus mampir ke sekolah karena dapat panggilan dari kepala sekolah berkat pengaduan Bu Ita wali kelasku di kelas dua. Saat itu aku mengintip dari balik jendela, aku melihat ibuku memohon-mohon pada Pak Kepala Sekolah entah untuk apa?

Mungkin agar aku tidak dihukum atau tidak dikeluarkan. Namun yang membuat aku merasa sangat bersalah adalah Bu Ita. Kukira Bu Ita akan memasang raut wajah kesal pada ibuku karena masih saja memohon untuk anaknya yang nakal ini dan bahagia terhadap ganjaran yang akan aku terima nantinya. Ternyata Bu Ita pun berurai air mata saat kepala sekolah terlihat menyerah pada kelakuanku dan mengabaikan permohonan ibuku. Setelah kejadian kemarin, aku pikir aku akan dikeluarkan dari sekolah. Tapi, tidak jadi, yeay! Dan apa aku girang? No!

“Ayolah, Sayang, ibu sudah berjanji kamu akan ke sekolah hari ini.” pinta ibu saat memakaikanku seragam merah putih itu. Aku yang pagi itu ngambek karena tak mau sekolah hanya sanggup memasang wajah cemberut saja. Tatapan setajam silet bapak berambut klinis dan berdasi itu membuatku kehilangan kekuatan untuk melawan. Oh, Bapak, kenapa tampangmu selalu menyeramkan saat menatap anakmu yang menggemaskan ini.

“Bapak sudah sering bilang kan, kamu itu anak perempuan. Anak perempuan itu kelakuannya jangan seperti ini. Bapak kerja keras juga buat kamu bisa sekolah. Mulai hari ini, bapak tak mau dengar ada panggilan lagi dari sekolah. PAHAM!” Seperti biasa, Bapak menceramahiku saat perjalanan ke sekolah. Aku hanya terdiam sambil terus cemberut. Rasanya sudah sekian lama mendengar ceramah ini.

Terkadang memang, menjadi anak kecil itu sepertinya menyenangkan. Namun, sungguh harusnya memang menyenangkan, kalau tidak berhadapan dengan keterpaksaan seperti pada minggu-minggu terakhir kenaikan kelas kala itu.

“Uli, maju ke depan dan bacakan hapalan perkalian tujuh.” pinta Bu Ita saat mengajar perkalian matematika di kelas dua. Jujur, aku tidak tau sama sekali, yang aku tau hanya tujuh kali satu sama dengan tujuh dan tujuh kali sepuluh sama dengan tujuh puluh. Apa yang harus aku lakukan. Kakiku sangat gemetaran untuk maju ke depan. Teman-teman sekelas menertawai dan meremehkanku. 

Saat sampai di depan kelas, aku memulai dengan membaca “Perkalian tujuh…” baru juga itu, sekelas udah riuh aja. Aku jadi semakin tidak percaya diri melihat wajah-wajah penuh kegirangan menyaksikan penderitaanku ini. Aku melihat ke arah  Bu Ita  yang  sudah  siap  dengan  samurai nya itu,  beliau memberi  kode  agar  aku  melanjutkan hapalanku yang sama sekali belum masuk isinya, baru intro doang. Aku kemudian menghadap lagi ke arah mereka yang tidak sebodoh aku, yang masih tertawa dan menertawakanku.

“7x1 = 7, 7x2… ehm.. ehm…” aku panik, aku melihat ke audience mungkin ada yang mau kasih bocoran. Tapi, tidak. Mereka lebih takut dengan samurai yang dipegang Bu Ita itu. Samurai yang memang bersiap untuk kembali mendarat di telapak  tanganku. Bu Ita memukulkan senjata andalannya itu ke telapak tanganku yang sudah memerah. Kayu sepanjang 100 cm yang menjadi properti Bu Ita saat mengajar memang selalu menjadi saksi betapa aku sangat bodoh dan nakal.

Aku tidak ingat entah sudah berapa kali, penggaris kayu yang kusebut samurai pendekar itu mendarat di kulitku, di betis dan di telapak tangan. Tapi kali ini, sungguh sangat keras, bahkan berkali-kali. Aku tak kuasa menahan tangis saat bel istirahat berbunyi. Mereka semua keluar, tinggallah aku yang baru saja duduk dari penyiksaan itu.

Aku menenggelamkan wajahku ke dalam lipatan tangan mungilku di atas meja. Aku menangis terisak-isak. Batinku memberontak, apa ini yang namanya sekolah? Apa begitu seorang guru mendidik anak muridnya. Aku tak pernah lolos dari penggaris kayu itu. Bu Ita tak lama datang dan menghampiriku, beliau duduk di sebelahku dan mengusap kepalaku.

“Maafkan Bu Ita, Nak,” ucapnya kemudian. Aku mendengar suaranya bergetar seperti orang menangis. Diletakkannya penggaris itu di hadapanku.

“Bu Ita gagal jadi gurumu. Bu Ita gagal mendidikmu. Bu Ita malah melukaimu,” air mata Bu Ita tambah mengalir deras saat menggapai kedua telapak tanganku yang memerah lalu meniupnya sehingga membuat air mata beliau membasahi telapak tanganku. Entah apa yang kurasakan kala itu? Aku hanya terpaku melihat air mata seorang guru tak henti menitik di kedua telapak tanganku yang digenggamnya.

Aku mengingat semua tingkah lakuku terhadapnya. Aku tak pernah mau masuk kelas. Aku selalu membolos dan kabur saat dikejar. Aku benar-benar anak nakal yang tak pernah mau dididik. Aku tak pernah bosan dengan penggaris itu. Tapi kali ini, rasanya sangat berbeda. Entah karna mereka terlalu beringas menertawakanku kali ini, atau karena air mata Bu Ita yang meminta maaf padaku setelah memukulkan penggaris 100 cm itu berkali-kali. Aku menatap ke atas meja, penggaris itu sudah mulai rapuh, ada retakan kecil pada bagian tengahnya.

 “Bu Ita tadi keluar sebentar dan memukulkannya pada kaki bu, supaya penggaris ini rapuh dan tak akan memukulmu lagi, Nak,” Bu Ita menjawab pertanyaan yang seharusnya hanya aku dan Tuhan yang tau apa yang ada dalam pikiranku. Bu Ita kemudian menyeka air matanya dan mencium keningku seraya berucap maaf. Aku hanya menunduk dan terdiam tanpa sadar air mata penyesalan menetes di pipiku. Bu Ita keluar sambil memegang ujung penggaris kayu itu. Aku merasa tiba-tiba takut kehilangan sosok yang sebenarnya sangat penyayang itu. Sosok tiga puluh delapan tahun, ibu dari dua orang anak dan ibu dari kami semua.

Dan semenjak saat itu, hari-hari mendekati ujian kenaikan kelas, aku merubah semua tabiat nakalku. Aku selalu masuk kelas, aku memperhatikan Bu Ita saat mengajar. Aku berusaha sangat keras untuk mampu menghapal perkalian, untuk mampu membaca tanpa mengeja. Memang sangat sulit, apalagi di waktu yang sangat singkat. Namun, Tuhan tahu dan membantu umatnya yang bersungguh-sungguh.

Entah karena sebenarnya aku memang pintar, atau karena tekad yang kuat untuk membuat ibu dan bapak serta Bu Ita bangga padaku, aku tak tau pasti. Yang jelas, aku berhasil naik kelas dengan nilai minimal tanpa merah. Dan aku bangga. Bangga dengan kemajuanku setelah itu, hingga aku bisa meraih juara kelas saat duduk di bangku kelas lima dan lulus dengan Nilai terbaik dua setelah Nema, yang memang udah encer banget otaknya.

Aku ingat, Bu Ita menangis saat aku mendapatkan predikat juara. Aku ingat, Bu Ita menciumku berkali-kali saat aku lulus dengan nilai terbaik dua. Aku ingat, Bu Ita memberikan penggaris kayu 100 cm itu padaku. Aku menangis saat aku tahu dua bulan lalu, Bu Ita telah berpulang ke pangkuan Illahi. Dan saat ini, ketika aku kembali terkenang masa-masa itu, aku tengah merangkul batu nisan guruku dengan membawa samurai pendekar 100 cm ini.

Aku tak kuasa menahan tangisku. Kalau bukan karenanya, aku takkan jadi seperti sekarang. Sakit yang kurasa karna penggaris Kayu ini, tak sesakit ketika aku melukai perasaan mu saat aku tak bisa menerima setiap ilmu yang engkau berikan padaku. Sungguh besar jasamu, Bu. Kau ajarkan aku segala hal. Darimu aku belajar arti dari kesabaran. Darimu aku paham arti bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang senantiasa memberikan ilmu, tanpa meminta balas atas apa yang sudah diberikannya.

***





















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Purnama